UniversitasPancasila (UP) alamat Jalan Raya Lenteng Agung Timur No.56-80, Srengseng Sawah, Jagakarsa, RT.1/RW.3, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12630 Universitas Paramadina (UPM) alamat Jalan Gatot Subroto Kav. 96-97, Mampang Prapatan, RT.4/RW.4, Mampang Prpt., Kota Jakarta Selatan, Daerah

Seperti diketahui, pada 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta. Hari ini Indonesia sudah 77 tahun merdeka. Namun, tak sedikit orang belum mengetahui cikal bakal rumah yang berada di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, tempat pembacaan teks proklamasi pertama kalinya dilakukan. Belakangan heboh ceramah Ustaz Adi Hidayat yang menyebut bahwa rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 tersebut ternyata milik seorang pengusaha muslim keturunan Yaman yang mencintai Tanah Air Indonesia ini bernama Faradj Bin Martak. Dikutip dari berbagai sumber, salah satunya adalah penulis Nabiel A. Karim Hayaze, Faradj Bin Martak adalah pengusaha berdara Arab yang memang memiliki beberapa gedung di Indonesia, salah satunya adalah gedung di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 ini. Baca Juga Cek Fakta Benarkah Lionel Messi Sudah Landing di Bandara Soekarno Hatta? Kendati begitu, bukan serta merta bahwa rumah tersebut adalah tempat tinggal Faradj yang diberikan sebagai Rumah Proklamasi. Masih menurut Nabiel, ada sebuah bukti otentik berupa surat resmi yang ditandatangani menteri negara untuk NV Marba, yang kemudian bertuliskan bahwa gedung tersebut 'dihibahkan' kepada negara. Dari momen itulah gedung tersebut memiliki beberapa riwayat kegunaan hingga akhirnya dipakai Soekarno dan tokoh lainnya untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Pada tahun 1948, gedung tersebut akhirnya resmi dibeli Pemerintah Indonesia. Rumah yang berada di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta menjadi rumah bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Rumah tersebut juga diketahui pernah ditempati oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Rumah tersebut dijadikan tempat untuk memproklamasikan kemerdekaannya di tahun 1945. Baca Juga Kentang Mustofa, Makanan Kesukaan Presiden Soekarno Jadi Menu Penyambut Jemaah Haji di Mekkah Disebutkan dalam sumber lain, rumah bersejarah yang menjadi tonggak awal berdirinya negara Republik Indonesia tersebut ternyata dibeli oleh seorang saudagar besar keturunan Arab bernama Faradj bin Said Awad Martak, Presiden Direktur Algemeene Import-Export en Handel Marba. Faradj bin Said Awad Marta sendiri merupakan saudagar terkenal di Jakarta yang dulunya bernama Batavia, sejak zaman kolonial Belanda hingga era kemerdekaan. Faradj bin Said Awad Marta lahir di Hadramaut, Yaman Selatan. Anak Faradj bin Said Awad Marta yang menjadi penerus kerajaan bisnisnya tersebut bernama Ali bin Faradj Marta. Ali dikenal dekat dengan Bung Karno. Berkat jasa besar dari Faradj bin Said Awad Martak tersebutlah rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 tersebut resmi menjadi milik Bangsa Indonesia. Berkat jasa saudagar tersebut, pemerintah Republik Indonesia kemudian memberikan ucapan terima kasih. Tidak hanya itu, pemerintah RI juga memberikan penghargaan kepada Faradj bin Said Awad Martak. Ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut disampaikan secara tertulis atas nama Pemerintah Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1950 silam. Ucapan tersebut ditandatangani oleh Ir. HM Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan Republik Indonesia. Diketahui, Faradj bin Awad Martak tidak hanya membeli rumah bersejarah bagi Indonesia tersebut, saudagar tersebut juga membeli beberapa gedung lain yang ada di Jakarta dan memiliki sejarah dan peran tersendiri bagi negara Republik Indonesia. Namun, bangunan bersejarah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta tersebut sudah lama rata dengan tanah, setelah Soekarno memerintahkan agar rumah tersebut dirobohkan pada tahun 1962. Setelah diratakan, di atas tanah tersebut kemudian dibangun Gedung Pola, dan tempat Bung Karno serta Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI itu didirikan monumen Tugu Proklamasi. Sejak saat itu, Jalan Pegangsaan Timur tersebut berubah menjadi Jalan Proklamasi. Kontributor Syifa Khoerunnisa

Padasaat itu juga telah diputuskan bahwa teks proklamasi akan dibacakan di halaman rumah Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada pagi hari pukul 10.00 WIB. Perumusan Naskah Proklamasi Sekitar pukul 21.00 WIB Soekarno Hatta sudah sampai di Jakarta dan langsung menuju ke rumah Laksamana Muda Maeda, Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta
Jakarta - Pemerintah Provinsi Pemprov DKI Jakarta sedang memproses pergantian nama jalan lokasi Tugu Proklamasi, yaitu Jalan Proklamasi No. 56 untuk kembali menjadi Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Sebab, berdasarkan catatan sejarah Kemerdekaan Indonesia, tempat dibacakannya teks proklamasi kemerdekaan adalah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, yang sekarang telah berdiri Tugu Proklamasi. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengatakan, awalnya jalan yang menjadi lokasi Tugu Proklamasi adalah Jalan Pegangsaan Timur. Tetapi oleh pemerintah, nama jalan itu diubah menjadi Jalan Proklamasi mengikuti nama Tugu Proklamasi. Untuk meluruskan sejarah yang benar, Pemprov DKI sedang memproses mengembalikan nama jalan Tugu Proklamasi menjadi nama awalnya. Karena nama jalan tersebut, masih tercatat dalam teks buku-buku sejarah para pelajar di Jakarta. “Karena nama jalan ini sudah berubah menjadi Jalan Proklamasi, maka untuk meluruskan sejarah, kami sedang memproses mengembalikan nama jalan ini. Bukan lagi nama Jalan Proklamasi, tetapi menjadi Jalan Pegangsaan Timur kembali. Karena di teks sejarah, jalan ini adalah Jalan Pegangsaan Timur. Nomornya tetap 56,” kata Djarot di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat 7/8. Kerancuan sejarah pun dialami oleh anaknya sendiri. Dia mengatakan sewaktu mengunjungi Tugu Proklamasi bersama anak perempuannya, ditanyakan di mana Jalan Pegangsaan Timur. Setelah dicari-cari, ternyata sudah berubah menjadi Jalan Proklamasi. “Anak saya, waktu kesini bertanya, "Ayah, mana Jalan Pegangsaan Timur?" Dicari-cari, enggak ketemu. Adanya Jalan Proklamasi. Makanya akan kami ubah [kembali] menjadi nama Jalan Pegangsaan Timur No. 56,” tegasnya. Tugu Proklamasi atau Tugu petir adalah tugu peringatan proklamasi kemerdekaan RI. Tugu Proklamasi berdiri di tanah lapang kompleks Taman Proklamasi di Jl. Proklamasi dulunya disebut Jl. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat. Pada kompleks juga terdapat monumen dua patung mantan presiden dan wakil presiden, Soekarno-Hatta berukuran besar yang berdiri berdampingan, mirip dengan dokumentasi foto ketika naskah proklamasi pertama kali dibacakan. Di tengah-tengah dua patung proklamator terdapat patung naskah proklamasi terbuat dari lempengan batu marmer hitam, dengan susunan dan bentuk tulisan mirip dengan naskah ketikan aslinya. Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, "Tugu Petir", yang kemudian disebut Tugu Proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara PLN. Tulisan yang kemudian dicantumkan, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta." Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden M. Hatta mengundurkan diri 1 Desember 1956. Pada 17 Agustus 1980, Presiden Soeharto meresmikan monumen Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi. Saksikan live streaming program-program BTV di sini

JalanPegangsaan Timur No. 56 adalah letak bekas kediaman presiden pertama Indonesia, Soekarno yang terletak di Jakarta Pusat. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dikumandangkan di sini. pengangsaan- timur - 56 .jpg Jalan Pegangsaan Timur telah berproses dan berubah nama menjadi Jalan Proklamasi.

Oleh Herry M. Joesoef Jakarta – Rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Menteng, Jakarta, itu menjadi saksi kelahiran republik ini. Di depan rumah inilah Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta. Adapun bangunan di belakang pembacaan naskah proklamasi, adalah sebuah rumah yang dimiliki dan dihuni oleh keluarga keturunan Arab yang mukim di Jakarta. Beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan, Soekarno terserang penyakit beri-beri dan malaria. Bung Karno kerap menggigil, panas-dingin, dan lemas badannya. Adalah seorang pengusaha asal Yaman, Farej Said Martak, sahabat Bung Karno, memberikan madu Arab, Sidr Bahiyah, yang didatangkan dari Hadramaut, Yaman. Madu Sidr bukan sembarang madu. Khasiatnya sudah teruji sejak ratusan tahun lalu. Bersifat antibiotik dan sekaligus antiseptik. Setelah beberapa hari mengkonsumsi madu Sidr, kondisi Bung Karno berangsur pulih. Lalu, dengan didampingi Mohammad Hatta, Bung Karno membacakan naskah Proklamasi di depan rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Menteng, itu. Rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu memang milik keluarga Farej yang dihibahkan kepada Bung Karno. Di rumah inilah Ibu Fatmawati menjahit Bendera Merah Putih pada malam sebelum teks proklamasi dibacakan. Atas jasa baik itu pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan ucapan terima kasih pada keluarga Martak, berupa surat secara tertulis pada 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Ir. Mananti Sitompoel sebagai Menteri Pekerdjaan Umum dan Perhubungan Indonesia. Dalam surat tersebut, disebutkan juga, selain rumah di jalan Pegangsaan Timur 56, keluarga Martak telah membeli beberapa gedung lain di Jakarta yang sangat berharga bagi kelahiran negara Republik Indonesia. Dalam perkembangannyam atas permintaan Bung Karno, pada 1962, rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu dirobohkan. Di atas bangunan tersebut kemudian didirikan Gedung Pola, sedangkan tempat Bung Karno dan Bung Hatta berdiri saat membacakan teks Proklamasi, didirikan monumen Tugu Proklamasi. Jalan Pegangsaan Timur diubah menjadi Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. *** Farej bin Said bin Awadh Martak adalah putra ketiga dari empat bersaudara. Secara berurutan, kakak-kakak Farej adalah Djusman Martak dan Muhammad Martak, sedangkan adiknya bernama Ahmad Martak. Keluarga besar Martak dan keluarga Badjened mendirikan Alegemeene Import-Export en Handel Martak Badjened Marba, dimana Farej menjadi Presiden Direkturnya. Jejak Marba masih bisa ditelusuri di Jogjakarta berupa Hotel Garuda, dan di Semarang berupa Gedung Marba. Anak keturunan dari keluarga Martak ini masih eksis di bumi Nusantara. Salah satunya adalah Yusuf Muhammad Martak, Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa GNPF-Ulama. Yusuf adalah putra dari Muhammad Martak, kakak dari Farej bin Said bin Awadh Martak. Nama besar Marba kini dilanjutkan oleh Yusuf dengan aneka bidang usaha, dari restoran sampai ke biro perjalanan, dan berpusat di Tebet, Jakarta Selatan. Dengan latar sejarah seperti itu, jika sekarang Yusuf Muhammad Martak hadir di pentas nasional, bukanlah sesuatu yang a-historis. Yusuf bukan tipe manusia yang memanfaatkan nama besar keluarga untuk kepentingan pribadinya, tapi ia merasa terpanggil, sebagai anak bangsa, berkontribusi kepada negara-bangsa ini dengan jargonnya, “Apa yang bisa kami berikan untuk republik ini”, bukan “Apa yang bisa kami ambil dari republik ini”. Keluarga Martak telah membuktikan hal itu, sejak dari persiapan kelahiran republik ini. Kehadiran dan peran warga keturunan Arab dalam mempersiapkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Jejak dan fakta-fakta sejarah bisa berderet panjang. Di antaranya adalah Baswedan 9 September 1908 – 16 Maret 1986 yang juga populer dengan sebutan Abdurrahman Baswedan. Ia adalah seorang pahlawan nasional. semasa hidupnya, dia dikenal sebagai seorang nasionalis, jurnalis, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BP-KNIP, Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. Baswedan yang fasih bicara dengan bahasa Arab, Belanda, dan Inggris itu adalah salah satu diplomat pertama Indonesia ysng berhasil mendapatkan pengakuan baik de jure maupun de facto bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir. Salah satu cucu dari Baswedan adalah Anies R. Baswedan yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta. HMJ

PMIKota Jakarta Utara Jl. Plumpang, Semper No. 56 Jakarta Utara Telp (021) 43935630 Pukul 09.00 - 12.00 WIB. Pukul 15.00 - 18.00 WIB. Kamis, 1 Agustus 2013 Jl. Pegangsaan Timur No. 19 A Cikini, Jakarta Pusat Pukul 09.00 - 12.00 WIB. Gereja Kristus Petamburan Jl. KS Tubun No. 2 Petamburan, Jakarta Barat
- Sang saka Merah Putih atau bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bendera negara Indonesia ini dijahit oleh Fatmawati, istri dari Presiden Soekarno. Bendera Pusaka selesai dijahit dalam waktu dua hari. Kemudian, sejak 1969, bendera merah putih yang asli telah disimpan di Istana Merdeka, karena kondisi bendera yang saat itu sudah rapuh. Baca juga Bendera Pusaka Pernah Hilang, Ini Ceritanya Pertama Kali Bendera Merah Putih Dikibarkan Bendera pusaka pertama kali dijahit oleh Fatmawati, istri dari Presiden Soekarno, setelah ia bersama keluarganya kembali ke Jakarta dari pengasingan di Bengkulu, Oktober dari bendera ini adalah katun Jepang yang memang pada saat itu digunakan khusus untuk membuat bendera-bendera negara di dunia, berukuran 274 x 196 cm. Bendera itu pun selesai dijahit dalam waktu dua hari. Setahun kemudian, bendera hasil jahitan tangan Fatmawati tersebut dikibarkan pertama kali pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, saat proklamasi dilaksanakan. Bendera Indonesia ini dikibarkan oleh Latief Hendraningrat, Suhud, dan SK Trimurti. Sejak tahun 1946 hingga 1968, bendera tersebut hanya dikibarkan pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI saja.

Keesokanharinya, tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Indonesia pun merdeka dan bukan merupakan hadiah dari Jepang. Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Alhidayath Parinduri

Rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. ist. Di buku pelajaran sejarah kita mengenal bahwa Proklamasi RI dibacakan oleh Soekarno-Hatta di sebuah rumah Jl. Pegangsaan Timur No. 56Tahukah siapa pemilik rumah itu?Rumah itu dihibahkan oleh seorang saudagar kaya keturunan Hadramaut - Yaman bernama Faradj bin Sa'id bin Awadh Martak yang tak lain adalah paman dari Ust. Yusuf Martak Ketua GNPFDi rumah itu pula tempat dijahitnya bendera Sang Saka Merah Putih oleh Ibu FatmawatiBahkan saat menjelang proklamasi dibacakan Bung Karno jatuh sakit. Berhari-hari sakit terkena beri-beri dan malaria yang membuat badan Bung Karno menjadi lemasMelihat kondisi sahabatnya itu, Faradj Martak membawakan Madu Sidr Bahiyah dari Hadramaut. Kata Bung Karno, berkat Madu Arab kondisinya lebih baikBerkat jasa Faradj Martak akhirnya bisa dikumandangkan proklamasi kemerdekaan RI dan dikibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di rumah yang dihibahkannya. Sekarang rumah itu menjadi Taman ProklamasiBukan hanya rumah untuk proklamasi saja yang dihibahkan. Dalam surat penghargaan yang diberikan oleh pemerintah tanggal 14 Agustus 1950 diketahui bahwa Faradj Martak juga membeli beberapa gedung yang dihibahkan untuk pemerintahSekali lagi Proklamasi dikumandangkan di rumah saudagar Arab, bukan di rumah Aidit!Repost gwa-mu1443h.
KoranSulindo - Mengapa Bung Karno memutuskan bekas kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur No, 56, yang menjadi tempat upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, dibongkar di tahun 1964? Pertanyaan itu diajukan seorang peserta diskusi bertajuk "Hikayat Sebuah Jalan: Pegangsaan Timur" dalam Kancah Revolusi, beberapa hari lalu.
› Opini›Bung Karno, dari Oranje... Setelah diasingkan di Padang, Bung Karno ”kembali” ke Jawa pada 1942 dan tinggal di Oranje Boulevard, kini di Jalan Diponegoro, dan kemudian pindah ke rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. KOMPAS/SUPRIYANTO SupriyantoTanggal 17 Agustus 2021 kita memperingati Hari Kemerdekaan Ke-76 RI. Setiap menyambut Hari Proklamasi kita teringat alamat sebuah lokasi di Jakarta, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, sekarang Jalan Proklamasi bagian depan rumah yang luas pekarangannya itulah pada 17 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dari rumah Bung Karno itulah perjalanan republik ini dimulai. Di lokasi yang pernah menjadi kediaman Bung Karno itu kini berdiri Gedung Perintis Kemerdekaan sebelumnya disebut Gedung Pola dan Gedung Proklamasi, sebuah tugu yang di puncaknya ada kilatan petir, replika Tugu Peringatan Satu Tahun Proklamasi, serta Monumen Pahlawan kisah rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu pernah menjadi kediaman Bung Karno dan kemudian dikenang sebagai salah satu tempat bersejarah negeri kita? Ada serangkaian cerita tentang hal Karno ke JawaSemenjak awal pendudukannya di Indonesia, Jepang menyadari bahwa mereka membutuhkan dukungan para pemimpin, tokoh politik, dan masyarakat negeri jajahannya ini. Tokoh-tokoh yang sudah dikenal luas masyarakat, apalagi yang kharismatik, didekati untuk membantu pemerintah jajahan dan menggerakkan potensi rakyat di berbagai pemerintah pendudukan Jepang memerlukan tokoh sekaliber Soekarno yang aktivitasnya ketika itu sudah luas dikenal juga Jejak Sejarah ”Putra Sang Fajar” di Bumi RaflesiaSewaktu Jepang menginvasi Indonesia, Bung Karno tengah dalam pengasingan politik oleh pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu. Bung Karno dipindahkan dari Ende, Flores, pada 1938. Menyadari posisinya kian terdesak, Belanda lalu mengungsikan Bung Karno dan keluarganya ke Padang, dan menurut rencana terus ke karena Belanda panik dan ketiadaan transportasi untuk membawa Bung Karno keluar Padang, beliau masih di Padang saat Jepang masuk kota tersebut, 17 Maret 1942 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, 2005.Kehadiran segera Bung Karno di Pulau Jawa dinantikan Jepang dan kawan-kawan seperjuangannya semasa pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda, antara lain Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Namun, mengingat situasi yang belum menentu di awal pendudukan Jepang, perjalanan Bung Karno kembali ke Jawa sempat tersendat, bahkan agak sebuah perahu bermotor berukuran panjang 8 meter, Bung Karno, istrinya, Inggit Garnasih, Kartika anak angkat mereka, dan Riwu pembantu keluarga sejak di Ende, Flores, dikawal dua tentara Jepang, bertolak dari Palembang, awal Juli 1942. Ikut pula dalam rombongan kecil tersebut, dua anjing peliharaan keluarga Bung Karno, Ketuk Satu dan Ketuk mengarungi laut bergelombang yang membuat penumpangnya ciut hati dan mabuk laut, selama empat hari, perahu itu mendarat di pelabuhan Pasar Ikan, Jakarta, 9 Juli 1942 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1965. Cetakan ke-6, 2000; John D Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 1972; Lambert Giebels, Soekarno Biografi 1901-1950, 2001; Mohammad Hatta, Indonesian Patriot Memoirs, 1981.Baca juga Warisan Kepemimpinan Soekarno-Hatta, Gelorakan Persatuan di Sanubari RakyatUniknya, kisah perjalanan Bung Karno ini disinggung Tan Malaka dalam karya monumentalnya, Madilog. Di bagian pendahuluan, Tan Malaka membandingkan pelayaran Bung Karno dari Palembang ke Jakarta, dengan perjalanannya dari Teluk Betung ke tujuan yang sama, memakai perahu layar kecil Seri Renjet yang sudah tua dan bocor di Malaka menceritakan, sepanjang pelayaran gerak maju perahu layar tersebut dipermainkan angin. Sementara perahu yang ditumpangi Bung Karno, menurut Tan Malaka, juga ditarik sebuah kapal bermotor Jepang. Alhasil, kendati Teluk Betung lebih dekat ke Jakarta, perjalanan Tan Malaka memakan waktu lebih lama Tan Malaka, Madilog, Teplok Press. Cetakan Ketiga, April 2000.Sesampai di Jakarta, apakah Bung Karno dan keluarganya langsung tinggal menetap di Jalan Pegangsaan Timur 56? Ada yang mengatakan bahwa di hari pertama di Jakarta, Soekarno sekeluarga menginap di kediaman Bung Hatta di Oranje Boulevard yang kini bernama Jalan Diponegoro John D Legge, 1972.Ada yang mengatakan bahwa di hari pertama di Jakarta, Soekarno sekeluarga menginap di kediaman Bung Hatta di Oranje Boulevard yang kini bernama Jalan ada juga catatan bahwa di Jakarta, keluarga Bung Karno awalnya menginap di Hotel Des Indes, Harmoni, yang kemudian menjadi kompleks pertokoan Duta Merlin Ramadhan KH, Kuantar ke Gerbang Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, 1988; Walentina W de Jonge, Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan, 2015.Penguasa militer Jepang memang sudah menyiapkan berbagai keperluan Bung Karno kantor, staf, mobil, dan sebuah rumah Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka. Jilid 1, 1901-1945, 2003.IPPHOS Pembicaraan antara Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta sekitar pembentukan Kabinet, Juni rumah yang luasBeberapa buku memastikan bahwa Soekarno dan keluarganya tidak langsung tinggal menetap di Jalan Pegangsaan Timur 56, tetapi mulanya pernah di sebuah rumah cukup besar bertingkat dua di jalan raya daerah elite Menteng, Oranje Boulevard Lambert Giebels, 2001; Ramadhan KH, 1988; Soebagijo IN penyunting, Mr Sudjono Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942, 1983.Bung Karno sendiri tidak jelas menyebut alamat rumah tinggalnya yang pertama di Jakarta. Beliau hanya mengatakan bahwa ”Jepang telah menyediakan sebuah rumah bertingkat dua dan manis potongannya, terletak di sebuah jalan raya Jakarta” Cindy Adams, 2000.Namun, setelah beberapa waktu, Bung Karno dan Bu Inggit merasa kurang senang tinggal di rumah bertingkat dua di Oranje Boulevard kemudian dipastikan posisinya di Jalan Diponegoro Nomor 11 itu Lambert Giebels, 2001. Bagi mereka, rumah itu terasa tidak cukup luas untuk menerima tamu Bung Karno yang semakin video Inggit 1 Srikandi di Balik Kemerdekaan IndonesiaKetidaksenangan tinggal di rumah bertingkat itu diakui sendiri oleh Bung Karno Cindy Adams, 2000. Bu Inggit juga merasa selain rumah kurang besar, ”suamiku tidak senang naik turun tangga di rumah bertingkat itu” Ramadhan KH, 1988. Mereka ingin tinggal di rumah yang lebih besar dan nyaman dengan halaman 20 tahun yang lalu, Kompas memuat tulisan seorang pelaku sejarah yang mengetahui asal mula Bung Karno tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56. Dalam artikelnya berjudul ”Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi” Kompas, 16 Agustus 2001, Chairul Basri menceritakan pengalamannya ikut mencarikan rumah untuk Bung Basri yang pensiun sebagai mayor jenderal TNI AD, dan pernah menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 1966-1979, kemudian menuliskan kisah itu dengan lebih rinci dalam bukunya, Apa yang Saya Ingat 2003.Ceritanya berawal ketika Chairul Basri diminta seorang pejabat Jepang, Shimizu Hithoshi, dari badan propaganda, untuk mencarikan rumah bagi keluarga Bung Karno. Bersama seorang teman, Adel Sofyan, keduanya bersepeda berkeliling daerah akhirnya menemukan sebuah rumah yang luas pekarangannya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor akhirnya menemukan sebuah rumah yang luas pekarangannya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Keduanya merasa rumah ini cocok bagi Bung Karno. Chairul teringat pesan Bung Karno ”Saya ingin mendiami rumah yang luas pekarangannya agar saya dapat menerima rakyat banyak” Chairul Basri, 2003.Rupanya rumah itu milik seorang Belanda yang sudah diinternir Jepang. Istrinya masih menghuni rumah tersebut. Wanita Belanda itu diminta mengosongkan rumah tersebut dan dipindahkan ke Jalan Lembang, juga di daerah Menteng. Bung Karno setuju pindah ke Jalan Pegangsaan Timur Nomor baik dalam artikel di Kompas dua dasawarsa lalu itu maupun dalam bukunya, Chairul Basri tidak menjelaskan apakah rumah di Pegangsaan Timur itu rumah pertama Bung Karno di Jakarta setelah kembali dari Sumatera ataukah rumah berikutnya setelah sempat menghuni rumah di Oranje Upacara peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta, 17 Agustus 1952. Anak-anak bermain bola di Tugu Proklamasi, Minggu 22/4/2012.Ketika menempati rumah yang kemudian menjadi tempat diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia, Bu Inggit Garnasih sempat tinggal di rumah tersebut. Bu Inggit merasa lebih nyaman di Pegangsaan Timur 56, yang selain luas halamannya juga memiliki banyak kamar dan ada paviliunnya Ramadhan KH, 1988.Setelah bercerai dengan Bu Inggit, Bung Karno menikah dengan Fatmawati. Dalam pernikahan yang berlangsung di Bengkulu itu, Juni 1943, Bung Karno diwakili Sardjono, seorang kawan Bung Karno di Bengkulu Cindy Adams, 2000; Lambert Giebels, 2001; Fatmawati Sukarno, Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno, 2016.Bu Fat lalu pindah berkumpul dengan suaminya di Jakarta dan tinggal di Pegangsaan Timur 56. Di rumah itulah kemudian diselenggarakan pesta pernikahan mereka, 22 Agustus 1943 Lambert Giebels, 2001. Di rumah itu pulalah Bung Karno dikaruniai putra pertama, Guntur Soekarnoputra, 3 November 1944. Di sana juga Bu Fat menjahit Bendera Pusaka juga Merawat Kenangan Fatmawati Soekarno di BengkuluTulisan ini memang hanya sebatas kisah awal rumah di Pegangsaan Timur 56 itu menjadi kediaman Bung Karno. Tentu banyak kisah penting lain di rumah bersejarah tersebut. Sayang, bangunan asli rumah itu atas perintah Presiden Soekarno sendiri dibongkar awal tulisan ringkas ini mengingatkan kembali pada sekilas riwayat rumah yang pernah menjadi kediaman salah seorang pendiri republik ini. Sebuah rumah tempat dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 76 tahun yang Republik Lukman, Peminat Sejarah Nasional Indonesia
KiranaTwo Office Tower Lt.10 Jl. Boulevard Timur Kav 88 Pegangsaan Dua, Kelapa Gading- Jakarta Utara, Indonesia Kantor proyek: Jl. Warakas IV No.56, Tanjung Priok - Jakarta Utara, Indonesia P: +62 21 437 4788 F: +62 21 436 1378 E: contact@anugrahkita.co.id. nama. E-mail. Judul. Pesan. Kirim Pesan. kami Tersedia
Pada 17 Agustus 1945, di halaman rumah jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta, Soekarno – Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di halaman rumah siapakah proklamasi tersebut di dikumandangkan? Aktifitas menjelang kemerdekaan, bagi para tokoh pendiri republik ini, sungguh menguras banyak enerji dan pikiran. Hal inilah yang, antara lain, menyebabkan Soekarno Bung Karno sempat jatuh sakit. Soekarno terserang penyakit beri-beri dan malaria. Badannya kerap menggigil, panas-dingin, dan lemas. Adalah seorang pengusaha asal Yaman, Farej Said Martak, sahabat Bung Karno, memberikan madu Arab, Sidr Bahiyah, yang didatangkan dari Hadramaut, Yaman. Madu , Sidr Bahiyah bukan sembarang madu. Khasiatnya sudah teruji sejak ratusan tahun lalu. Bersifat antibiotik dan sekaligus antiseptik. Setelah mengkonsumsi madu Sidr, kondisi Bung Karno berangsur pulih. Lalu, didampingi Mohammad Hatta, Bung Karno membacakan naskah Proklamasi di depan rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Menteng, Jakarta. Tahukah Anda, rumah siapakah yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu? Rumah ini milik keluarga Farej yang dihibahkan kepada Bung Karno. Di rumah inilah Ibu Fatmawati menjahit Bendera Merah Putih pada malam sebelum teks proklamasi dibacakan. Atas permintaan Bung Karno, pada 1962, rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu dirobohkan. Di atas bangunan tersebut kemudian didirikan Gedung Pola, sedangkan tempat Bung Karno dan Bung Hatta berdiri saat membacakan teks Proklamasi, didirikan monumen Tugu Proklamasi. Jalan Pegangsaan Timur diubah menjadi Jalan Proklamasi. Pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan ucapan terima kasih pada keluarga Martak, berupa surat secara tertulis pada 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Ir. Mananti Sitompoel sebagai Menteri Pekerdjaan Umum dan Perhubungan Indonesia. Disebutkan juga dalam surat tersebut, selain rumah di jalan Pegangsaan Timur 56, keluarga Martak telah membeli beberapa gedung lain di Jakarta yang sangat berharga bagi kelahiran negara Republik Indonesia. Siapakah Farej bin Said bin Awadh Martak? Ia adalah putra ketiga dari empat bersaudara. Secara berurutan, kakak-kakak Farej adalah Djusman Martak dan Muhammad Martak, sedangkan adiknya bernama Ahmad Martak. Keluarga besar Martak dan keluarga Badjened mendirikan Alegemeene Import-Export en Handel Martak Badjened Marba, dimana Farej menjadi Presiden Direkturnya. Jejak Marba masih bisa ditelusuri di Jogyakarta berupa Hotel Garuda, dan di Semarang berupa Gedung Marba. Dari Muhammad Martak, kakak dari Farej, lahirlah seorang putra bernama Yusuf Muhammad Martak, yang juga dikenal sebagai Ketua GNPF-Ulama. Nama besar Marba kini dilanjutkan oleh Yusuf dengan aneka bidang usaha, dari restoran sampai ke biro perjalanan, dan berpusat di Tebet, Jakarta Selatan. Dengan alur-kisah tersebut, kehadiran Yusuf Muhammad Martak di blantika pergerakan nasional bukanlah a-historis. Yusuf bukan tipe manusia yang memanfaatkan nama besar keluarga untuk kepentingan pribadinya, tapi ia merasa terpanggil agar terus berkontribusi kepada negara-bangsa ini dengan jargonnya, “Apa yang bisa kami berikan untuk republik ini”, bukan “Apa yang bisa kami ambil dari republik ini”. Inilah prinsip Nasionalis-Islamis yang sedang ditumbuhkembangkan oleh Yusuf Muhammad Martak Kontribusi keturunan Arab tidak hanya berkait dengan rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56, tetapi di bidang yang lain. Tengoklah Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar yang dikenal dengan nama H. Mutahar 5 Agustus 1916 -9 Juni 2004, penggubah lagu Syukur Januari 1945, mars Hari Merdeka 1946, dan Dirgahayu Indonesiaku yang menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan yang aktif berkomunikasi dengan 6 bahasa asing itu adalah salah seorang keturunan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kehadiran keluarga Martak dan Muthahar adalah fakta bahwa keturunan Arab di Indonesia punya kontribusi yang tidak kecil bagi kelahiran republic ini. HMJ
k0GxzT8.
  • a2fuf503hl.pages.dev/188
  • a2fuf503hl.pages.dev/378
  • a2fuf503hl.pages.dev/135
  • a2fuf503hl.pages.dev/179
  • a2fuf503hl.pages.dev/73
  • a2fuf503hl.pages.dev/270
  • a2fuf503hl.pages.dev/17
  • a2fuf503hl.pages.dev/317
  • a2fuf503hl.pages.dev/209
  • jalan pegangsaan timur no 56 jakarta